Beranda · Menu · Kajian Bahasa Arab Dasar · Sastra Arab Makalah-Makalah

MAKALAH PRAGMATISME

BAB I
PENDAHULUAN

A.                RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang persoalan yang telah dibahas di atas, ada beberapa point pembahasan yang terangkum dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1.         Apa pengertian pragmatism itu ?
2.         Apa yang melatarbelakangi lahirnya pragmatisme ?
3.         Bagaimana karakteristik pragmatism?
4.         Siapa sajakah tokoh-tokoh pragmatisme itu dan bagaimanakah corak pemikirannya ?

B.                 TUJUAN PENULISAN
Dalam penyusunan makalah ini terdapat 4 hal yang ingin dicapai:
1.         Untuk mengetahui pengertian pragmatisme
2.         Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi lahirnya pragmatisme
3.         Untuk mengetahui karakteristik pragmatisme
4.         Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh pragmatisme dan bagaimana corak pemikirannya.

C.                MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu :
1.         Dapat mengetahui pengertian pragmatisme
2.         Dapat mengetahui apa yang melatarbelakangi lahirnya pragmatisme
3.         Dapat mengetahui karakteristik pragmatisme
4.         Dapat mengetahui siapa saja tokoh-tokoh ragmatisme dan bagaimana corak pemikirannya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.                PENGERTIAN PRAGMATISME
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang berpandangan bahwa sesuatu yang dianggap benar belum pasti memiliki manfaat bagi kehidupan nyata. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan manfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.
 Contoh lain menurut John Dewey, Misalnya,kita tersesat di hutan. Setelah sejenak mempertimbangkannya, kita berkata kepada diri sendiri,” Jalan keluarnya ialah ke kiri’. Proposisi ini mengandung makna bagi kita, jika kita kemudian berjalan ke kiri. Dengan kata lain, kita menghadapi masalah untuk keluar dari hutan dan kita telah mengucapkan suatu proposisi yang merupakan hipotesa mengenai cara untuk keluar dari hutan.
Bagaimanakah kita mengetahui bahwa proposisi itu benar? Menurut Dewey, kita baru mengetahui setelah kita mengadakan verifikasi, dan yang demikian ini kita kerjakan dengan cara berjalan ke kiri. Jika dengan berjalan ke arah kiri, kita sungguh-sungguh keluar dari hutan, maka barulah proposisi tersebut sungguh-sungguh benar. Proposisi yang kita ajukan merupakan suatu hipotesa yang meramalkan konsekuensi-konsekuensi. Dan karenanya, akan benar jika-dan hanya jika-konsekuensi-konsekuensi-konsekuensi tersebut terwujud. Kebenaran ialah pembenaran (verification), dan hal ini ditunjukkan bila penyelidikan yang menimbulkan perumusan proposisi tersebut diselesaikan dengan sukses.
Tampaknya orang mencampur-adukan antara mengetahui suatu proposisi benar dengan keadaan suatu proposisi benar. Dimisalkan saya mengatakan “ Jalan ke kiri membawa kita keluar dari hutan.” Sebetulnya saya tidak mengetahui apakah yang saya ucapkan itu benar, kecuali jika saya mengikutinya. Tetapi sudah pasti, apakah saya mengikuti ataukah tidak ,jalan itu membawa kita keluar dari hutan atau tidak membawa kita keluar dari hutan. Seorang yang terbang di atasnya dapat melihat apakah jalan tersebut membawa kita keluar dari hutan tanpa tersesat atau kita harus berjalan tanpa mengikuti jalan tersebut.
Suatu hal lain perlu juga ditunjukkan. Jika saya tersesat di hutan, saya mungkin sekali mengatakan, “ Jalan ke kiri boleh jadi membawa kita keluar dari hutan.” Jalan tersebut betul-betul membawa kita keluar dari hutan.” Proposisi yang terakhir ini benar dengan jalan menunjukkan kepada masa lampau, dan tidak menunjuk kepada sesuatu yang akan saya kerjakan di hari depan.
Selanjutnya, pendapat saya bahwa jalan itu boleh jadi akan membawa kita keluar dari hutan, tidak akan menjadi salah karena tindakan-tindakan yang saya lakukan kemudian. Yaitu, meskipun saya mengikuti jalan tersebut dan (ternyata) jalan itu membawa saya lebih jauh lagi masuk ke dalam hutan. Definisi yang diberikan oleh Dewey tentang kebenaran bertentangan dengan pengertian-pengertian kita tentang pernyataan-pernyataan yang mengandung probabilitas.
Namun demikian, Dewey menunjukkan suatu hal yang penting. Proposisi memang megadakan ramalan, dan hasilnya dapat mengatakan kepada kita banyak hal mengenai benar-sesatnya. Tetapi kecuali jika proposisi itu ditinjau dari sudut logika sama nilainya dengan ramalan-ramalan, maka tidak satu pun ramalan yang atas dasar itu dapat dilakukan verifikasi terhadap proposisi. Berhubung dengan itu, semua proposisi yang bercorak demikian – dan semua proposisi empiris kiranya merupakan ramalan belaka – tidak akan mengandung lebih daripada  kemungkinan untuk benar.
Penganut pragmatisme menaruh perhatian pada praktik,maksudnya, manusia itu memandang hidup sebagai suatu perjuangan hidup yang di dalamnya terdapat konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis. Dan konsekuensi yang bersifat tersebut erat kaitannya dengan kebenaran. Salah seorang peletak dasar pragmatisme ,yakni C.S. Piere, mengatakan demikian,
“Untuk  memastikan makna apakah yang dikandung oleh suatu konsepsi akali, maka     kita harus memperhatikan konsekuensi-konsekuensi praktis apakah yang niscaya akan timbul dari kebenaran-kebenaran konsepsi tersebut.”
Jika tidak menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang praktis maka sudah tentu tidak ada makna yang dikandungnya. Kesimpulan yang terakhir ini dinyatakan dalam semboyan yang menarik: “ Apa yang tidak mengakibatkan perbedaan tidak mengandung makna.” Makna yang dikandung suatu pernyataan terdapat dalam konsekuensi yang niscaya timbul dari pertanyaan yang dianggap benar.
Dimisalkan kita memikirkan pengertian pengertian bobot. Apakah makna bobot itu? Apakah yang dimaksud orang jika ia mengatakan bahwa suatu benda mempunyai bobot? Manakala kita memikirkannya sejenak,ternyata yang ia maksudkan dengan bobot adalah jika benda itu didukung niscaya benda itu akan jatuh.’Bobot’ secara demikian mengandung makna konsekuensi-konsekuensinya. Dari hal ini timbul kesimpulan yang lain. Jika dua konsepsi mempunyai konsekuensi yang sama, maka makna yang dikandungnya sama juga.
.
B.                 LATAR BELAKANG LAHIRNYA PRAGMATISME
Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, Socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah menggunakannya secara metodis John Locke (1632 - 1704), George Berkeley (1685 - 1753), dan Dayid Hume (1711 - 1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikiran pragmatis ini.
Dari segi historis, abad ke-19 di tandai dengan skeptisisme yang di tiupkan oleh teori evolusi Darwin. Nilai religius dan spiritual menjadi, dipertanyakan. Filsafat Unitarian, suatu aliran pemikiran yang hanya menerima ke Esaan, Tuhan yang bergantung pada argumen-argumen tentang teologi kodrati dan perwahyuan, lemah dalam membela diri terhadap evolusi onisme. Karena kaum ilmuan menerima teori evolusi Darwin, filosof-filosof Unitarian menjadi tenggelam. Lebih lagi karena keyakinan bahwa pemikiran mengenai proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan atheisme dan bahwa manusia hanya bisa membenarkan eksistensinya dengan agama, mereka tidak dapat mengintegrasikan hipotesis evolusi ke dalam keyakinan mereka.
Pada saat yang sama, suatu kelompok pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan untuk menghadapi krisis teologi ini tanpa mengorbankan ajaran agama yang essensial. Kelompok ini melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanistis tentang teori Darwin dapat menghancurkan agama dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang fatalistis. Mereka khawatir bahwa interpretasi ini dapat berakhir dengan sikap yang pasif, apatis, bunuh diri dan semacamnya. Karena itu mereka menganjurkan agar evolusi Darwin dipahami secara lain. Dan karena filsafat Unitarian sendiri hampir mati, kelompok ini yang dikenal dengan "Perkumpulan Metafisika", menyusun prinsip-prinsip pragmatisme baik secara bersama maupun secara individual dalam menghadapi evolusi Darwin.
Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh C.S. Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama "keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya.
la belum menyadari bahwa keyakinan seperti itu juga cocok untuk filsafat. Karen Peirce sangat tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah atau eksperiemntal, ia mengambil alih istilah pragmatisme untuk merancang suatu filsafat yang mau berpeling kepada konsekwensi praktis atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya.
Filsafat tradisional, menurut Peirce, sangat lemah dalam metode yang akan memberi arti kepada ide-ide filosofis dalam rangka eksperimental serta metode yang akan menyusun dan memperluas ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup fakta-fakta baru. Metafisika dan logika tradisional hanya mengajukan teori-teori yang tertutup dan murni tentang arti, kebenaran, dan alam semesta. Pendeknya, Filsafat tradisional tidak menambah sesuatu yang baru. Dengan sistemnya yang tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih menutup jalan untuk diadakan penyelidikan dan bukannya membawa kemajuan bagi filsafat dan ilmu pengetahuan
Dalam rangka itulah Peirce mencoba merintis suatu pemikiran filosofis baru yang agak lain dari pemikiran filosofis tradisional. Pemikiran filosofis yang baru ini diberi nama Pragmatisme. Pragmatisme lalu dikenal pada permulaannya sebagai usaha Peirce untuk merintis suatu metode bagi pemikiran filosofis sebagaimana yang dikehendaki di atas.
Pragmatisme merupakan bagian sentral dari usaha membuat filsafat tradisional menjadi ilmiah. Tetapi untuk merevisi seluruh pemikiran filosofis tradisional bukan suatu hal yang mudah. Untuk maksud benar-benar dibutuhkan revisi dalam logika dan metafisika yang merupakan dasar filsafat.
Dengan demikian, progmatisme muncul sebagai usaha refleksi analitis dan filosofis mengenai kehidupan Amerika sendiri yang dibuat oleh orang Amerika di Amerika sebagai suatu bentuk pengalaman mendasar, dan meninggalkan jejaknya pada setiap kehidupan Amerika. Oleh karena itu ada suatu alasan yang kuat untuk meyakini bahwa pragmatisme mewakili suatu pandangan asli Amerika tentang hidup dan dunia. Atau barangkali lebih tepat kalau dikatakan bahwa pragmatisme mengkristalisasikan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang telah menentukan perkembangan Amerika sebagaimana menggejala dalam berbagai aspek kehidupannya, misalnya dalam penerapan teknologi, kebijaksanaan-kebijaksanaan politik pemerintah, dan sebagainya.


C.                KARAKTERISTIK PRAGMATISME
Di bawah ini merupakan karakteristik dari pragmatisme :
1.         Pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat.
2.         Sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan ilmu pengetahuan dengan pandangan agama.
3.         Pragmatisme ini cara berpikirnya adalah praktis.
4.         Bahwa kriteria kebenaran sesuatu adalah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan yang nyata.
5.         Kebenaran sifatnya menjadi tidak relatif mutlak.
6.         Pengalaman (experience) bisa berwujud: sosial, budaya, ekonomi,agama,moralitas, pendidikan, dll.

D.                TOKOH-TOKOH PRAGMATISME DAN PEMIKIRANNYA
Berbicara tentang suatu aliran tertentu, kita tidak lepas dari siapa pencetus Pragmatisme di Amerika Serikat, serta tokoh-tokohnya yang berpengaruh. Ini berarti bahwa kita di bawa untuk melihat siapa pencetus dan tokoh-tokoh lainnya.
Menurut Copleston dalam A History of Philosophy, pemula aliran pragmatisme di Amerika Serikat dalam C.S. Peirce (1839-1914). Secara pasti, pragmatisme lebih populer dan selalu dikaitkan dengan nama William James, karena dialah yang mempopulerkannya.
Hal ini bisa dimenegerti karena James sebagai lektor dan penulis lebih cepat terkenal dari pada Peirce sebagai filosof selama hidupnya. Tahun akademis 1864-1865 dan tahun 1869-1879 digunakan Peirce untuk menekuni sejarah ilmu pengetahuan modern. Ia belajar logika secara sungguh-sungguh pada tahun 1870-1871. Pada tahun 1879-1884 ia menjadi rektor pada universitas John Hopkins. Pada tahun 1905, Peirce mengubah teori pragmatisme. Pada tahun ini juga, ia berkenalan dan kemudian bersahabat erat dengan William James. Jameslah yang mengolah, mengerjakan, dan menyempurnakan karya-karya yang terbengkalai. Pada tahun 1914, kanker merenggut kehidupan Peirce.

Ciri Khas Pragmatisme Peirce
Seperti kita lihat dalam uraian sebelumnya, secara umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Sutrisno lebih lanjut menyatakan bahwa pragmatisme Peirce yang kemudian hari ia namakan pragmatisme lebih merupakan suatu teori mengenai arti (Theory of Meaning) daripada teori tentang kebenaran (Theory of Truth). Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. la sendiri membedakan kemajemukan kebenaran itu sebagai berikut :
Pertama, transcendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada "things as things ".
Kedua, complex truth yang berarti kebenaran dari pernyataan-pernyataan. Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebenaran logis dilain pihak.
Kebenaran etis adalah seluruhnya pernyataan dengan siapa yang diimani oleh sipembicara. Sedangkan kebenaran logis adalah selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang didefinisikan.
Patokan kebenaran proporsi atau pernyataan itu dilandaskan pada pengalaman. Artinya; suatu proposisi itu benar bila pengalaman membuktikan kebenarannya. Proposisi itu keliru apabila bertentangan dengan realitas yang diucapkannya, bertentangan dengan pengalaman realitas.
Menurut Peirce, ada beberapa proposisi yang tidak dapat dikatakan salah, yaitu proposisi dari matematika murni. Di sini kreteria kebenaran matematika murni letaknya dalam hal "Ketidakmungkinannya lagi ", untuk menemukan kasus yang lemah. Dalam matematika murni, semua kasus dan proposisi serba kuat. Proposisi matematika murni samasekali juga tidak mengatakan sesuatu tentang hal-hal yang faktual ada atau fakta aktual karena matematika murni tidak pernah menghiraukan apakah ada hal real atau fakta yang cocok dengan pernyataan itu atau tidak. Karena itulah Peirce mengatakan bahwa proposisi matematika murni tidak dapat diklasifikasi secara pasti benarnya. Masalah penentuan hal "benar" memang bisa dilihat dari bermacam-macam segi yaitu disatu pihak benar bisa diartikan sebagai "the universe of all truth (universe of all universes). Dilain pihak, dari sudut epistemologi, kebenaran didefinisikan sebagai kesesuaian antara pernyataan dengan penyelidikan empiris. Karena itu, teori pragmatisme Peirce lebih mencanangkan teori tentang arti daripada teori tentang kebenaran. Pandangan Peirce tentang kebenaran dalam uraian di atas, lebih merupakan pandangan seorang idealis daripada pandangan seorang pragmatis.
Menurut Peirce, pragmatisme adalah suatu metode untuk membuat sesuatu ide menjadi jelas atau terang dan menjadi berarti. Kelihatan lagi tekanan teori arti Peirce pada pragmatisismenya, baginya pragmatisme adalah metode untuk menditerminasi makna dari ide-ide. Ide itulah yang mau diditerminasikan atau artinya melalui pragmatisme.
Ada bermacam-macam ide yaitu pertama ide persepsi (sense datum). Ide lni dipandang dalam dirinya sendiri tanpa berhubungan dengan yang lain. Persepsi adalah ide yang dipandang berdiri sendiri, lepas dari yang lain. Contohnya ide kebiruan, ide kemerahan. Dalam mulut Peirce, ide persepsi ini ia sebut sebagai ide "kepertmaan". Kedua adalah ide tindakan yang meliputi aspek subyek pelaku dan obyek sasaran. Istilah Peirce untuk ide ini adalah ide keduaan.
Ketiga, yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh penilik. Peirce menamai ide ini ide ketigaan. Secara praktis, kekhasan pragmatisme Peirce merupakan suatu metode untuk memastikan arti ide-ide di atas.
Penekanan segi teori arti dalam pragmatisme Peirce dapat kita lihat dalam rumusan lengkapnya mengenai pragmatisme. Pragmatisme adalah suatu teori untuk dapat memastikan makna dari suatu ide intelektual. Caranya adalah orang harus mempertimbangkan konsekwensi-konsekwensi praktis dari teori tersebut. Inilah yang menentukan arti ide tersebut, inilah kekhasan pragmatisme Peirce. Karena perumusan tadi masih terlalu abstrak, ia memberi contoh. Coba bayangkan bila seseorang mengatakan kepada anda, bahwa suatu benda itu keras, tetapi anggaplah diri anda belum tahu arti keras itu yang bagaimana. Setelah itu, orang itu akan menjelaskan kepada bahwa suatu benda itu keras bila konsekwensi-konsekwensi praktisnya adalah bila benda itu disentuh tidak akan memberikan rasa lembut pada tangan anda bila orang duduk di atasnya tidak akan tenggelam di dalamnya, begitu seterusnya.
Dari pengumpulan akibat-akibat praktis tadi, dapatlah kini dirumuskan bahwa benda itu keras. Dengan perkataan lain, konsekwensi-konsekwensi praktis tadi memberi arti penuh mengenai benda-benda tadi. Karena itulah, bisa kita mengerti kalau di tempat lain Peirce menegaskan bahwa teori arti pragmatisme itu menolak nominalisme dan menerima realisme.
Inilah kekhasan Peirce dalam pragmatismenya. Berkat analisisnya mengenai arti, ia membantu kita untuk mengerti kejelasan suatu konsep. Ia membantu kita untuk menganalisis konsep-konsep dengan mengujinya melalui konsekwensi-konsekwensi praktis sehingga menjadi kongkrit.
 William James
Pada tokoh ini, Sutrisno juga menjelaskan bahwa James adalah tokoh pragmatisme yang lebih terkenal daripada Peirce. Dialah yang mempublikasikan ajaran pragmatisme. Dalam tokoh ini, pragmatisme mencapai keradikalannya.
Dalam kata pengantar buku The Will to Believe (1903), James menulis sikap filsafatnya sebagai empirisme radikal. Dengan empirisnya James memaksudkan sebagai pandangan yang "contented to regard its most assured conclusions concerning matters of future experience ".
Segi radikalnya terletak dalam perlakuannya terhadap ajaran monisme. Seperti kita ketahui, monisme adalah teori yang mengatakan bahwa dunia ini merupakan suatu entitas saja yang unik. Kebanyakan orang terutama kaum filosof abad lalu memperlakukan tidak demikian. Keradikalannya, justeru karena ajaran monisme sendiri ia perlakukan sebagai hipotesis. Pahamnya mengenai monisme adalah keanekaragaman hal yang membentuk suatu kesatuan yang dapat dimengerti.
Dengan sikap filsafat empirisme radikal, ia menegaskan bahwa kesatuan dari kemacam-ragaman hal-hal yang memberi pengertian itu sendiri merupakan hipotesis. Dia masih harus diversifikasi benar-tidaknya berdasarkan pengalaman dan bukan begitu saja di terima sebagai dogma.
Dalam buku Some Problems of Philosophy (1911), James lebih tandas mengemukakan pendirian empirisme radikalnya. Di situ, ia melawankan empirisme dengan rasionalisme. Menurut James, para rasionalis adalah orang-orang prinsip. Sedangkan kaum empiris adalah orang-orang fakta. Seorang filosof rasionalis sebagaimana dilihat James adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktip, dari yang menyeluruh menuju kebagian-bagian.
Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum menuju yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sebaliknya filosof empirisme mulai dari yang khusus (partikuler), dari situ menuju kemenyeluruh. Ia lebih senang menerangkan prinsip-prinsip sebagai proses induksi dari fakta. Usaha sebaliknya yaitu mau memastikan suatu kebenaran yang total dan final adalah asing bagi filosof empiris. Pendapatnya ini diperketat dengan pendapatnya tentang arti kebenaran. Pendapat ini terdapat dalam bukunya, The Meaning Of Truth (1909).
Di sana ia mengartikan kebenaran pertama-tama kebenaran itu merupakan suatu postulat, yaitu semua hal yang disatu pihak bisa ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman. Dilain pihak siap untuk diuji denga diskusi. Kedua arti kebenaran itu merupakan suatu pernyataan fakta. Artinya segala hal yang ada sangkut-pautnya dengan pengalaman. Ketiga kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. perumusan kesimpulan ini sifatnya sudah kompleks. Inilah penegasan James mengenai kebenaran. Karena itu, bagi James, pragmatisme hanyalah merupakan suatu metode. Suatu metode untuk memastikan atau menyelesaikan pertentangan antara teori A dan B.
Dengan demikian pragmatisme James adalah metode untuk mencapai kejelasan pengertian kita tentang suatu obyek dengan cara menimbang dan menguji akibat-akibat praktis yang dikandung obyek tersebut. Dari cara James menguji teori di atas berdasarkan konsekwensi praktisnya, kita melihat garis penekanan yang sama dengan metode pragmatisme Peirce. Memang sudah menjadi rahasia umum diantara para ilmuwan dan filosof bahwa James berhutang budi banyak pada Peirce. Malahan hal ini terang-terangan ia ungkapkan "nilai prinsip Peirce yang adalah prinsip pragmatisme”. Dalam buku Pragmatism (1907), ia menulis: "ajaran Peirce tetap tinggal tertutup sampai saat saya membukanya kepada umum dalam tahun 1898 It. James menerapkannya dalam bidang agama, hal ini nyata kelihatan dalam buku the Will to Believe maupun Varieties of Religious experience (1902) (hal. 98).
            John Dewey (1859-1952)
Pada tokoh ini Sutrisno menjelaskan bahwa berlainan dengan gaya empirisme James, Dewey juga termasuk tokoh empirisme yang di sangkutkan pula dengan pragmatisme. Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip "naturalisme empiris atau empirisme naturalis". Istilah "naturalisme" ia terangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya pemerosesan istimewa dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek yang memandang obyek.
Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari alam. Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan.
Dewey menyebut situasi tempat manusia hidup sebagai situasi problematis. Cara manusia bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Baru setelah orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud. Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat naturalistis sebagai “perkembangan terus-menerus hubungan organisme dengan lingkungannya".
Dari pandangan tersebut bisalah kita menggolongkan Dewey sebagai seorang empiris karena ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali kepengalaman. Si subyek bergumul dengan situasi problematika yang real empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan .
Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses “doing dan undergoing", suatu hubungan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey tidak membedakan antara subyek dengan obyek, antara tindak dengan benda material. Meskipun demikian didalam pengalaman kedua hal tadi tercakup dalam ketotalan yang mampat.
Dalam memberi patokan tentang kebenaran, Dewey mencantumkan ukuran yang sama dengan Peirce, yaitu bahwa suatu hipotesis itu benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan kita. Dengan hati-hati dan teliti, ia menekankan bahwa sesuatu itu benar bila berguna. Kegunaan di sini harus di tafsir dalam konteks Dewey yaitu proses transformasi situasi problematis seperti telah diterangkan di atas.
Seperti apa yang telah dijelaskan di atas, tentang gagasan atau ajaran Peirce terhadap pragmatisme. Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme antara lain sebagai berikut :
1.        Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari pada kemurnian opini manusia.
2.        Bahwa apa yang kita namakan "universal" adalah opini-opini yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari: “Community of knowers"
3.        Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas).
Walaupun penggunaan istilah "universal" memperlihatkan bahwa Peirce masih memikirkan sehubungan dengan "Pre-existing truths" dimana semua opini manusia harus dipertegas pada akhirnya, konsepnya atas kebenaran berangkat secara induktip oleh kumpulan akal (pikiran) memberikan William James dengan titik awal bagi versinya sendiri atas pragmatisme.
Di samping itu pula, William James mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme, sebagai berikut :
1.     Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti dan tak dapat diprediksi tetapi dunia benar adanya.
2.     Bahwa kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide, tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide dalam proses yang dipakai dalam situasi kehidupan nyata.
3.     Bahwa manusia betas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya akan dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya maupun penguasaan ilmu pengetahuannya.
4.     Bahwa nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketententuan yang absolut, tetapi semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain tentang duinia dimana kita tinggal di dalamnya.
James telah berhasil membuat satu pandangan filosofis terhadap dunia yang pada hakekatnya sejajar dengan opini publik yang berasal dari orang-orang awam dan bahkan memberi ruang baginya dalam alam jagad raya ini sebagai agen yang bebas dan bertanggung jawab, memecahkan problem-problem melalui penggunaan intelegensia praktisnya.
Semua pengalaman adalah hal yang nyata, James berpendapat bahwa "manusia tidak diminta untuk menjelaskan semuanya sesegera mungkin". Kecukupan yang digunakan ke dalam situasi tertentu adalah kebenaran, dengan pengertian bahwa kita bekerja dalam situasi itu sendiri. Dengan perkataan lain, kita harus bekerja sesuai dengan situasi yang telah ditentukan dan tidak boleh melebihinya.








BAB III
PENUTUP

A.                KESIMPULAN
1.      Pragmatism dapat dipahami sebagai sebuah paham yang menjadikan dapat bermanfaat atau tidak sebagai ukuran suatu kebenaran.
2.      Yang melatarbelakangi lahirnya pragmatisme adalah pergolakan antara pandangan ilmu pengetahuan dan agama.
3.      Titik tekan pada hal yang bersifat pragtis menjadi karakteristik pragmatism utama.
4.      Yang menggagas paham ini adalah C.S. Peirce (1839-1914). Kemudian dipopulerkan oleh William James dan Jhon Dewey .

B.                 SARAN
Sebagaimana diungkapkan oleh prof. Dr. ahmad Tafsir bahwa paham ini merupakan sebuah ancaman bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Oleh karenanya, mengambil secara utuh paham ini, tanpa menyeleksinya terlebih dahulu merupakan sesuatu yang perlu dipertimbangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Kattsoff Louis o.. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Achmadi  Asmoro. 1994. Filsafat Umum. Semarang: Rajawali Press
Hakim Atang Abdullah dan Saebani Beni ahmad. 2008. Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia
Syadali H. Ahmad, Mudzakir. 2004. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia
Najib Abdullah Mohammad. Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara  
Tafsir Ahmad. 2009. Filsafat Umum; Akal dan hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Rosda
Achmadi Asmoro. 2010. Filsafat Umum; Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press


Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "MAKALAH PRAGMATISME"

Post a Comment